SILATURAHMI DAN MUDIK : UPAYA MENINGKATKAN EFEKTIFITAS KOMUNIKASI
Abstract: Mudik process often done to return the humanism spirit. Because, the motivation of this tradition tough by our ancestors was to return our humanism spirit degradated by modernity atmophere which has thrown out humanism, togetherness, and familiarity.
Sociologically, Mudik remind human to place where they was born. This is very important to remind human not to forget their big family in this place. Because, the core of family in urban life was only consist of father, mother, and their kids.
In this tradition, there is a learning that everybody want to come back to where they was. The most imprtant thing of the tradition (especially in lebaran (Islamic Holy day)) is to rebuild the brotherhood string and friendship
Kata Kunci : Mudik, Silaturrahmi dan Komunikasi
A. Pendahuluan
Menjelang Hari Raya Idul Fitri media
Di dalam tradisi mudik, tercermin suatu makna bahwa setiap orang menghendaki atau mengharapkan kembalinya diri ke tempat asal-muasal. Tidaklah heran jika pemudik rela menempuh perjalanan panjang.
Selain untuk memperlihatkan keberhasilan yang telah dicapai di
Mudik berasal dari kata "udik" yang artinya kampung. Jadi secara sederhana, kata "mudik" bisa diartikan sebagai "pulang ke kampung asal, di mana kita dilahirkan dan sebagian besar keluarga bertempat tinggal".
Tradisi "mudik", yang umumnya dilakukan orang
Hal ini disebabkan karena budaya orang-orang
Secara sosiologi, mudik mengingatkan manusia pada kampung halaman yang pernah melahirkan dan membesarkannya. Ingat pada kampung halaman ini penting agar kita tidak meninggalkan keluarga besar yang masih ada di kampung halaman. Sebab dalam kehidupan urban, manusia kota biasanya hidup sebagai keluarga inti yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak.[2]
Tradisi mudik pada saat lebaran barangkali sudah terjadi berpuluh-puluh tahun. Tradisi mempunyai kekuatan luar biasa dalam menggerakkan aktifitas sosial. Tradisi juga menjadi benteng dari nilai-nilai budaya. Tradisi mudik menjadi lebih kuat karena di dalamnya ada nuansa agama, yaitu silaturrahmi. Manusia adalah makhluk sosial, oleh karena itu dorongan untuk bertemu keluarga dan teman-teman lama di kampung halaman berasal dari fitrah sosialnya. Mudik menjadi bernuansa religius karena silaturrahmi memang perintah agama.
1. Di kampung asal kita lahir, di mana kita menghabiskan masa kanak-kanak serta di
2. Menyambung tali kasih sayang kepada sanak saudara dan kerabat, yang kita kenal dengan istilah "silaturrahmi", dan menghangatkan kembali hubungan persahabatan dengan teman yang telah lama berpisah, yang kita kenal dengan istilah "ukhuwah".
3. Momen "Idul Fitri" membawa jiwa kita pada terbukanya fitrah manusia setelah sebulan menahan lapar, haus dan nafsu saithoniah dengan berpuasa, sehingga tumbuh kesadaran akan rasa kasih sayang dan saling cinta kepada sesamanya, terlebih kepada keluarga.
Setidaknya tiga hal inilah yang mendorong seseorang melakukan mudik lebaran, untuk segera bertemu dan mencurahkan rasa rindu, kasih sayang dan cintanya kepada orang-orang yang dicintai, yang akhirnya menjadi sebuah tradisi tiap tahunnya. Dorongan seperti ini, dalam diri seseorang kadang muncul begitu kuat hingga tidak bisa menahan kecuali harus segera memenuhinya, apa pun keadaan dan resikonya.
Kuatnya dorongan ini juga sangat dipengaruhi oleh empat faktor kejiwaan yang melandasi cinta dan kasih sayang seseorang, yang terkenal dengan istilah psikologi kasih sayang. Empat faktor itu adalah: penuh perhatian, keinginan untuk memberi, memaklumi kekurangan dan memaafkan kesalahan. Sebenarnya, sifat kasih sayang ini adalah sifat dasar setiap manusia semenjak diciptakan oleh Allah SWT. di mana sebelum manusia ini di lahirkan di dunia, ia tersimpan dalam suatu tempat yang kokoh dan aman dalam perut seorang wanita yang dinamakan "rahim". Rahim ini adalah salah satu nama dari sembilan puluh sembilan Asma Al-Husna atau nama-nama Allah yang indah, yang berarti bahwa Allah mempunyai sifat kasih sayang. Selama kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari ia tersimpan di
Tatkala manusia dilahirkan di dunia, ia disibukkan oleh urusan dunia yang begitu kompleks, ada kemungkinan sifat ini akan terdesak bahkan tertimbun oleh sifat-sifat lain seperti sifat rakus, iri, dengki dan sifat-sifat saithoniah yang lain. Maka setelah Ramadhan, sebulan jiwa dibersihkan dari sifat-sifat saithoniah, manusia akan kembali kepada fitrahnya, yaitu sifat kasih sayang, yang sebenarnya telah menjadi sifat dasar aslinya. Inilah yang setiap tahun kita saksikan bersama berbondong-bondongnya jutaan manusia Indonesia yang melakukan "pulang mudik" untuk bersilaturrahmi atau menjalin tali kasih sayang kepada seluruh keluarga dan kerabat serta menghangatkan kembali ukhuwah dengan sahabatnya di kampung halaman.
Dalam kebersihan jiwa mereka dari unsur sifat saithoniah, setelah shaum ramadhan, jiwa-jiwa mereka dipenuhi rasa kasih sayang yang mendesak keinginannya untuk segera dicurahkan kepada keluarga, kerabat dan orang-orang yang dikasihi dan dicintai, seakan kehausan yang segera membutuhkan tetesan air yang sejuk dan menyegarkan, atau seperti pemuda yang dilanda kerinduan kepada kekasih yang ia cinta, ingin segera melepas kerinduannya berjumpa dengan kekasih, apapun risikonya. Dorongan (baca: kebutuhan) pulang mudik untuk tujuan "bersilaturrahmi" seperti ini melanda setiap muslim tanpa kecuali.
Meski tidak sedikit oknum yang mempunyai tujuan untuk "pamer" kekayaan di kampung atas keberhasilannya selama di perantauan. Tidak saja bagi mereka yang kaya, yang punya mobil, punya motor maupun yang hanya punya ongkos naik kendaraan umum saja. Tapi bagi mereka yang tidak punya cukup ongkos pun sebenarnya punya keinginan pulang mudik, bersilaturrahmi kepada sanak famili dan mempererat ukhuwah dengan para sahabat.
D. Mudik Dan Silaturahmi Untuk Mengefektifkan Komunikasi
Manusia adalah mahluk sosial, maka pada dasarnya tidak mampu hidup sendiri di dunia ini. Manusia membutuhkan manusia lain untuk saling berkolaborasi dalam pemenuhan kebutuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan yang lainnya. Karena pada dasarnya suatu fungsi yang dimiliki oleh manusia satu akan sangat berguna dan bermanfaat bagi manusia lainnya. Karena fungsi-fungsi sosial yang diciptakan oleh manusia ditujukan untuk saling berkolaborasi dengan sesama fungsi sosial manusia lainnya.
Tindakan awal dalam penyelarasan fungsi-fungsi sosial dan berbagai kebutuhan manusia diawali oleh dan dengan melakukan interaksi sosial atau tindakan komunikasi satu dengan yang lainnya. Aktivitas interaksi sosial dan tindakan komunikasi itu dilakukan baik secara verbal, non verbal maupun simbolis, sehingga tercipta keseimbangan sosial antara hak dan kewajiban dalam pemenuhan kebutuhan manusia, terutama juga kondisi keseimbangan itu akan menciptakan tatanan sosial dalam proses kehidupan masyarakat saat ini dan waktu yang akan datang.[4]
Komunikasi verbal adalah pesan yang disampaikan melalui satu kata atau lebih.[5] Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Sedangkan pesan nonverbal berfungsi untuk menggantikan, menguatkan, atau menentang pesan verbal.[6]
Kebutuhan untuk hidup bersama dengan sesama manusia inilah yang membuat seseorang melakukan komunikasi atau bersilaturahmi. Karena semakin padatnya kegiatan atau kesibukan manusia sekarang ini maka waktu untuk berkomunikasi semakin sempit sehingga lebaran menjadi forum yg sangat dinantikan oleh kebanyakan orang supaya bisa berkomunikasi kembali.
Secara Sosiologis, perayaan lebaran, mudik, dan halal bihalal, berfungsi melestarikan identitas keislaman kaum muslim, sekaligus juga menyegarkan romatisisme dan kenang-kenangan masa kecil mereka. Tidak kurang pentingnya, acara itu bagi banyak orang merupakan mekanisme untuk mengukuhkan kembali jati diri (sebagai muslim dan anggota suku tertentu) mereka yang bersifat primodial. Penelitian-penelitian konsep-diri menunjukkan bahwa asal-usul (termasuk kesukuan atau kebangsaan dan agama) merupakan dimensi kategori yang terpenting. Maka bisa dipahami bila pada hari lebaran atau saat mudik orang sering menyempatkan diri untuk menziarahi makam orang tua atau leluhur lainnya, untuk menegaskan kembali “asal-muasal kita”.[7]
Bagi masyarakat pendatang yang tinggal di daerah urban, dan pendatang kesana setelah mereka dewasa, budaya urban itu tidak pernah menjadi bagian utuh dari biografi mereka. Mereka tetap memelihara budaya (adat istiadat, bahasa daerah, cara makan dan jenis makanan,etiket, dsb). Semua itu berfungsi menghidupkan jati diri dan juga masa lalu mereka, juga sebagai pemenuhan akan keinginan bernostalgia.
Hikmah terpenting dari lebaran, mudik dan halal bilhalal adalah untuk bersilaturrahmi: menumbuhkan tali persaudaraan dan persahabatn yang telah terputus atau mulai rapuh akibat mobilitas geografis dan mobilitas sosial yang kita lakukan pada zaman modern ini. Dalam bahasa Ilmu Komunikasi, lebaran, mudik dan halalbihalal merupakan sarana mengefektifkan kembali komunikasi kita dengan manusia lain, khususnya sesama muslim.
Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan membangun hubungan antar sesama manusia, melalui pertukaran informasi, untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain, serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.[8] Agar komunikasi bisa berjalan dengan lancar, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, diantaranya : pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian komunikan, pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama antar komunikator dengan komunikan sehingga sama-sama mengerti.[9]
Mengapa kita perlu memperbaiki kualitas komunikasi? Komunikasi telah dihubungkan dengan kesehatan fisik. Stewart menunjukkan: orang yang terkucil secara sosial cenderung lebih cepat mati. Selain itu kemampuan berkomunikasi yang buruk ternyata mempunyai andil dalam penyakit jantung koroner, dankemungkinan terjadinya kematian naik pada orang yang ditinggalkan mati oleh pasangan hidupnya.[10]
Sejak dulu, banyak bukti menarik mengenai hubungan positif antara komunikasi sosial yang harmonis dan usia panjang ini. Raja Frederick II, penguasa Sicilia abad ke-13, membuat percobaan dengan memasukkan sejumlah bayi ke laboratorium. Anak-anak itu dimandikan dan disusui oleh ibu-ibu, namun bayi-bayi itu tidak diajak berbicara, akibatnya semua bayi dalam percobaan itu mati. Tahun 1915, seorang dokter di Rumah Sakit John Hopskinmenemukan bahwa 90% dari semua bayi yang ada di panti asuhan Baltimore, Maryland, meninggal dalam satu tahun. Pada tahun 1944, seorang psikolog menemukan bahwa 34 dari 91 anak panti asuhan yang diamatinya juga mati.[11]
Korelasi positif antara komunikasi yang efektif (tulus, hangat dan akrab) dengan usia panjang juga telah didukung oleh penelitian terbaru yang dilakukan Michael Babyak dari Universitas Duke, dan beberapa rekannya dari beberapa universitas di Amerika Serikat. Lewat penelitian yang melibatkan 750 orang kulit putih dari kelas menengah sebagai sampel, dan memakan waktu 22 tahun, para peneliti menemukan bahwa orang-orang yang berkomunikasi kurang efektif (tidak suka berteman, memusuhi, mendominasi pembicaraan) berpeluang 60% lebih tinggi menemui kematian pada usia dini dibandingkan dengan orang-orang yang berperilaku sebaliknya (ramah, suka berteman, berbicara tenang).[12]
Penelitian ini membuktikan sabda rasulullah seperti dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Barang siapa senang dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menyambung tali kekerabatannya (silaturahmi).[13]
Dari hadist tersebut tersirat bahwa silaturrahmi mengandung dua kebaikan, yaitu menambah umur dan menambah rizki. Yang dimaksud dengan nambah umur bukan tahunnya, tetapi maknanya.
Dengan bersilaturahmi manusia dapat menjalin komunikasi yang baik dengan sesamanya, karena dengan komunikasi hubungan antarmanusia dapat dipelihara kelangsungannya. Sebab melalui komunikasi dengan sesama kita bisa memperbanyak sahabat dan memperbanyak rizki. Pendek kata komunikasi berfungsi menjembatani hubungan antarmanusia dalam bermasyarakat[14]
E. Penutup
Hari raya Idul Fitri yang menjadikan masyarakat terdorong untuk mudik, yaitu kembali ke asal kelahiran mereka, tidak saja dimaknai secara fisik, ialah sebatas berkenjung ke orang tua, tempat kelahirannya, tetapi mestinya lebih dari sebatas itu. Istilah mudik seharusnya dimaknai secara hakiki, ialah mudik ke asal bentuk kejadiannya, ------sebaik-baik bentuk. Mata, telinga, akal, dan hatinya selalu didekatkan dengan petunjuk kitab suci al QurĂ¡n. Inilah sesungguhnya mudik yang sebenarnya, setelah mereka kembali dari mudik secara fisik, dari kampung halamannya masing-masing.
Jika fenomena mudik dimaknai seperti ini, ialah kembali ke asal kejadian yang terbaik, maka hari raya benar-benar memiliki makna yang amat besar dalam membangun negeri dan bangsa ini. Semua energi yang telah dihabiskan untuk mudik menjadi tidak hilang percuma. Sebab hasilnya jauh melebihi dari semua yang dibelanjakan itu. Mudik tidak saja kembali ke asal secara fisik, tetapi kembali ke kejadian awal, yaitu sebaik-baik bentuk kejadian.[15]
DAFTAR PUSTAKA
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Kencana Prenada Media Group,
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya,
......................., Nuansa-Nuansa Komunikasi, Remaja Rosdakarya,
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada,
Onong Uchyana Effendi, Ilmu dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti,
Ringkasan Shahih Muslim Terjemahan,
Sam Abede Poreno, Kuliah Komunikasi, Papyrus,
Stewart L. Tubbs-Silvia Moss, Human Communication, terjemahan Deddy Mulyana, Remaja Rosdakarya,
http://musthaffo.multiply.com/
[1] http://musthaffo.multiply.com/, 14Oktober 2009
[2] http://www.analisadaily.com/ 14 Oktober 2009
[3]http://musthaffo.multiply.com. tgl 14 Oktober 2009
[4] Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Kencana Prenada Media Group,
[5] Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya,
[6] Stewart L. Tubbs-Silvia moss, Human Communication, terjemahan Deddy Mulyana, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2000, h. 114
[7] Deddy Mulyana, Nuansa-Nuansa Komunikasi, Remaja Rosdakarya,
[8] Sam Abede Poreno, Kuliah Komunikasi, Papyrus,
[9] Onong Uchyana Effendi, Ilmu dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti,
[10] Stewart L. Tubbs-Silvia moss, op.Cit, h. 22
[11] Deddy Mulyana, h. 48
[12] Ibid, h. 48
[13] Ringkasan Shahih Muslim Terjemahan,
[14] Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada,
[15] http://www.uin-malang.ac.id 14 OKT 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar