JURUSAN DAKWAH STAIN SAMARINDA KALIMANTAN TIMUR - PRODI : KOMUNIKASI & PENYIARAN ISLAM (KPI) + PRODI: MANAJEMEN DAKWAH (MD) + PRODI : BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM (BKI) - JL. KH. ABUL HASAN NO.3 SAMARINDA = http://dakwahstainsamarindakaltim.blogspot.com = ...DAKWAH: "Bikin Hidupmu Kreatif"...

Senin, 28 Februari 2011

kuliah umum- Studium General Tahun 2011

Semester Genap, 2011
Kecenderungan masyarakat, melihat keunggulan suatu lembaga pendidikan, yang terbanyak masih melihat dari sesuatu yang tampak (tangible), seperti kemegahan gedung, fasilitas dll, kurang memperhatikan sesuatu yang tidak kelihatan (intangible), seperti nilai, tradisi, budaya kerja, budaya organisasi dll. Kenyataan demikian menjadikan posisi sebagian perguruan tinggi seperti ”Menara Gading” yang keberadaannya secara hakiki jauh dari masyarakat dan Stakeholders-nya.Padahal muatan yang tak tampak, dalam konteks tertentu memiliki makna dan peran yang signifikan dengan kualitas dan integritas out-put dan out-come yang dihasilkan.
Dalam kerangka memberikan kepastian akan pencapaian tujuan organisasinya, perguruan tinggi memerlukan daya dukung sumber daya manusia (Pimpinan, dosen dan karyawan), yang bermutu. Sumber daya yang bermutu menempati posisi strategis dalam proses pengembangan Perguruan Tinggi. Posisi itu dilandasi pemikiran bahwa pimpinan, dosen dan staf administrasi dapat menciptakan lingkungan dan tradisi yang kondusif untuk memberikan kenyamanan kepada pelaksana tugas organisasinya dalam menjalankan tugas dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat akademiknya, sehingga terkondisi kearah pencapaian prestasi kelembagaan yang lebih baik.

Pemikiran lain bahwa, sebelum menghasilkan produk atau lulusan, perguruan tinggi harus memiliki sistem/ tata kerja yang marupakan hasil pemikiran terbaik yang diyakini oleh pimpinan, dosen dan staf administrasi yang akan melayani masyarakatnya. Dengan kata lain dalam konteks pemberdayaan SDM agar diperoleh pimpinan, dosen dan staf adminstrasi yang profesional dengan integritas dan kinerja yang baik diperlukan adanya acuan baik yang berupa aturan formal, maupun informal yang diyakini akan membimbing kearah pencapaian tujuan organisasi. Acuan internal dan tradisi selingkung itulah yang lazim disebut “Budaya Organisasi”. Dari budaya selingkung tersebut melahirkan kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan dan dipertahankan dan jika terkait dengan pekerjaan sering diistilahkan dengan budaya kerja. Tradisi seperti inilah yang secara sistematis menuntun dan mewarnai sikap pimpinan, dosen dan staf administrasi untuk menjalankan aktifitas sehari-hari. Baik buruknya kinerja suatu organisasi/ lembaga sangat dipengaruhi oleh budaya kerja yang dimiliki yang tercermin ke dalam sikap dan perilaku kerja anggotanya.

Peningkatan kinerja baik secara individu maupun secara umum akan dapat berdaya guna bila nilai-nilai dasar budaya kerja dapat diterapkan melalui proses sosialisassi, internalisasi dan institusionalisasi. Karena itu kajian tentang budaya organisasi dan budaya kerja menjadi bagian yang penting dan memiliki banyak fungsi; Penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk mengembangkan jatidiri, sikap dan perilaku sebagai pelayan masyarakat; pengembangan kerjasama; untuk memperbaiki kebijakan publik; untuk memperbaiki pelayanan manajemen; untuk memperbaiki pelaksanaan pengawasan, evaluasi kinerja dan penegagakan hukum secara konsisten dalam suatu lembaga. Oleh karena itu, adanya sebuah gagasan yang memandang bahwa organisasi sebagai suatu budaya – di mana suatu system dari makna yang dianut bersama di kalangan para anggotanya – merupakan fenomena yang relative baru dan selalu menarik. Pemahaman umum yang selama ini berkembang, bahwa organisasi didefinisikan sebagai suatu alat yang rasional untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan sekelompok orang. Di dalamnya ada tingkat jabatan, hubungan, wewenang dan seterusnya. Namun organisasi sebenarnya lebih dari itu. Organisasi juga mempunyai kepribadian, persis seperti individu; bisa tegar atau fleksibel, tidak ramah atau mendukung, inovatif dan konservatif.

Para teoritisi organisasi akhir-akhir ini, telah mulai mengakui hal ini dengan menyadari pentingnya peran yang dimainkan budaya tersebut dalam kehidupan anggota-anggota organisasi. Meskipun demikian, menarik bahwa asal usul budaya sebagai suatu variable independent yang mempengaruhi sikap dan perilaku seorang aggota dapat dirunut baik sejak adanya ide pelembagaan. Bila suatu organisasi menjadi lembaga, organisasi itu memiliki kehidupannya sendiri, terlepas pendiriannya ataupun siapapun anggotanya. Perubahan status yang dialami beberapa UIN semisal UIN Malang, mulai dari IAIN di bawah Surabaya, STAIN, UIIS dan sekarang UIN Malang pasti ada tradisi-tradisi lama yang tetap dipertahankan . Terlepas setuju atau tidak prinsip yang dipegang kalangan Nahdhiyin ; Al-muhafadhatu ala al-qadimi as-shalih, wal akhdu bil jadidi al-aslah erat kaitannya dengan tetap bertahannya beberapa tradisi yang tetap eksis dan menjadi ciri kebesaran organisasi NU di Indonesia.

Pelembagaan bekerja untuk menghasilkan pemahaman bersama di kalangan anggota mengenai perilaku apa yang tepat dan bermakna. Jadi, bila sebuah organisasi meneruskan keabadian lembaganya, model perilaku yang dapat diterima menjadi sangat jelas dengan sendirinya bagi anggotanya. Ini sebenarnya hal yang sama yang dilakukan kultur organisasi. Dengan demikain, memahami apa yang dimaksud dengan budaya organisasi, bagaimana tipologinya, apa saja fungsinya dan bagaimana budaya organisasi diciptakan dan dipertahankan, akan meningkatkan kemampuan kita untuk menjelaskan dan meramal perilaku dari orang pada pekerjaan yang professional.

Pelaksanaan pendidikan akhlak mulia di sekolah-sekolah tidak terlepas dari kualitas pembelajaran dan sistem penilaiannya. Penilaian akhlak mulia peserta didik sebagai hasil pembelajaran di sekolah masih bersifat parsial dan konvensional. Penilaian akhlak mulia lebih mengedepankan assessment of learning dari pada assessment for learning. Penilaian terjadi bias karena dilakukan secara parsial, subyektif, dan bersifat perabaan.

Tulisan ini merupakan pengembangan model asesmen akhlak mulia peserta didik, yang di dalamnya terdiri dari dimensi-dimensi willingness, conscience, value, attitude, dan moral behavior. Model asesmen ini menggunakan pendekatan self- dan peer-assessment secara terpadu dengan melibatkan peserta didik secara inter dan intra individu. Struktur internal model asesmen pembelajaran akhlak mulia yang terdiri yang dari dimensi-dimensi willingness, conscience, value, attitude, dan moral behavior melalui pendekatan self- dan peer-assessment ini dinyatakan tepat digunakan untuk menilai akhlak mulia peserta didik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar